Sabtu, 26 Maret 2011

Testimonium de Auditu



Oleh Eddy OS Hiariej (Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM)

Perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Polri kian meruncing. Hal ini terjadi menyusul pemanggilan empat unsur pimpinan KPK terkait dengan dugaan suap Direktur PT Masaro Anggoro Widjojo dan penyalahgunaan wewenang ihwal penyadapan dan pencekalan.

Pemanggilan pimpinan KPK oleh Polri tidak lepas dari keterlibatan pejabat tinggi Polri dalam kasus Bank Century yang sedang ditangani KPK. Namun, dalam hukum pidana, yang perlu dicermati adalah dasar pemanggilan dan materi pemeriksaan.


Dari pemberitaan di media, pemanggilan pimpinan KPK berdasarkan keterangan Ketua KPK (nonaktif) Antasari Azhar yang bertemu Direktur PT Masaro Anggoro Widjojo beberapa waktu lalu di Singapura. Dalam pertemuan itu, Anggoro memberi uang kepada pimpinan KPK. Apakah keterangan Antasari dapat menjadi bukti awal dan dasar pemanggilan pimpinan KPK?

Tolok ukur pembuktian

Dalam hukum pembuktian pidana, ada enam hal yang dapat dijadikan tolok ukur pembuktian, yaitu dasar-dasar pembuktian (bewijsgronden), alat-alat bukti (bewijsmiddelen), cara memperoleh dan menyampaikan bukti (bewijsvoering), beban pembuktian (bewijslast), kekuatan pembuktian (bewijskracht), dan minimum bukti yang diperlukan untuk memproses perkara pidana (bewijs minimum).

Dalam hukum pembuktian, keterangan Antasari dikenal dengan istilah testimonium de auditu. Secara harfiah, testimonium de auditu atau hearsay (Inggris) berarti kesaksian mendengar dari orang lain. Apakah testimonium de auditu dapat dijadikan bukti awal untuk memproses perkara pidana berdasar hukum pembuktian pidana, khususnya terkait bewijsmiddelen, bewijskracht, bewijsvoering, dan bewijs minimum? Kiranya dapat diulas sebagai berikut.

Pertama, dari sisi bewijsmiddelen. Merujuk Pasal 185 Ayat (1) KUHAP yang menyatakan, keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Penjelasan pasal tersebut berbunyi, ”Dalam keterangan saksi tidak termasuk yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu”. Berdasarkan pasal itu berikut penjelasannya, jelas bahwa testimonium de auditu bukan alat bukti yang sah.

Kedua, mengenai bewijskracht. Terkait dengan yang pertama, karena testimonium de auditu bukan alat bukti yang sah, dengan sendirinya tidak memiliki kekuatan pembuktian.

Ketiga, terkait bewijsvoering. Keterangan Direktur PT Masaro Anggoro Widjojo, yang menyatakan, ada pemberian suap kepada pimpinan KPK diperoleh Antasari dengan cara merekam secara sembunyi saat bertemu langsung dengan di Singapura. Hal ini dapat menimbulkan perdebatan. Di satu sisi, berdasarkan ketentuan Pasal 12 Ayat (1) butir a Undang-Undang KPK, KPK berwenang melakukan penyadapan dan perekaman. Namun, di sisi lain, ada larangan tegas dan diancam pidana maksimal lima tahun bagi pimpinan KPK yang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan orang yang ada hubungannya dengan perkara korupsi yang ditangani KPK dengan alasan apa pun (vide Pasal 36 juncto Pasal 65 undang- undang a quo).

Dengan demikian, keterangan Anggoro yang diperoleh dengan cara direkam adalah perolehan bukti dengan cara tidak sah atau unlawful legal evidence. Sebaliknya, Antasari diduga telah melakukan perbuatan pidana karena bertemu langsung dengan Anggoro sebagai pihak yang terkait langsung kasus korupsi PT Masaro yang sedang ditangani KPK.

Keempat mengenai bewijs minimum. Atas dasar ketiga tolok ukur pembuktian yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa testimonium de auditu bukan alat bukti, maka tidak mencukupi minimum bukti untuk memproses perkara itu secara pidana. Artinya, pemanggilan pimpinan KPK tidak mempunyai alasan kuat.

Tiga catatan

Selanjutnya terkait dengan materi pemeriksaan, yakni dugaan penyuapan Direktur PT Masaro Anggoro Widjojo dan dugaan penyalahgunaan wewenang mengenai penyadapan dan pencekalan, ada tiga catatan penulis.

Pertama, adanya bukti dugaan penyuapan sudah gugur dengan sendirinya atas dasar testimonium de auditu yang bukan merupakan alat bukti.

Kedua, jika Polri mempersoalkan wewenang KPK terkait dengan penyadapan dan pencekalan, kiranya salah alamat. Keberatan itu seharusnya diajukan ke Mahkamah Konstitusi karena kewenangan KPK adalah atas dasar undang-undang.

Akan tetapi, perlu diingat, tiga tahun silam (November 2006) Mulyana W Kusumah, Tarcisius Wala, dan sejumlah anggota Komisi Pemilihan Umum dengan kuasa hukum Mohamad Assegaf telah mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang KPK terhadap UUD 1945 yang salah satu materinya adalah keberadaan instrumen penyadapan dan perekaman.

Berdasarkan putusan MK, semua gugatan itu tidak dikabulkan, kecuali masalah keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang mana MK memberi tugas kepada DPR dan Presiden untuk membentuk Undang-Undang Pengadilan Tipikor paling lambat 31 Desember 2009.

Ketiga, adanya isu yang selalu berubah-ubah terkait pemeriksaan pimpinan KPK, mulai dari dugaan penyuapan, kemudian beralih kepada masalah penyadapan, dan akhirnya mengenai pencekalan, menunjukkan ketidakprofesionalan dan terkesan mengada-ada sehingga memberi indikasi sebagai upaya mematikan KPK.

sumber :http//www.kompas.com

0 komentar:

Posting Komentar