Sabtu, 26 Maret 2011

HAKIM KOMISARIS DALAM RUU KUHAP


Oleh : Beniharmoni Harefa

Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP)hingga saat ini belum disahkan sebagai UU. Yang mendapat perhatian khusus dan menarik adalah dengan adanya Hakim Komisaris yang sebelumnya tidak dimuat di dalam KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981). Kehadiran hakim komisaris dalam sistem peradilan pidana, diyakini sebagai salah satu cara dalam rangka memberikan jaminan HAM (hak asasi manusia) kpd setiap orang yg sedang menjalani proses pidana. Dimulai dari tahap penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan yg semuanya dikenal dengan upaya paksa (dwang middelen). Apabila dan pelaksanaan upaya paksa ini terjadi pelanggaran (dilakukan secara tidak sah) maka dapat dikatakan sbg pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Oleh karena itu, kehadiran Hakim Komisaris diyakini dapat mengawasi (examinating judge) thd pelaksaannya.

Siapa yang menjadi Hakim Komisaris ?
Pertanyaan selanjutnya yakni, siapa itu hakim komisaris ? Hakim komisaris bukan istilah baru di Indonesia, sebab pada saat diberlakukannya reglement op de Strafvoedering, hal itu sudah diatur dalam titel kedua tentang Van de regter-commissaris. Hakim komisaris pada tahap pemerikasaan pendahuluan berfungsi sebagai pengawas (examinating judge) untuk mengawasi apakah tindakan upaya paksa (dwang middelen), yg meliputi penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat2, dilakukan dengan sah atau tidak.

Istilah hakim komisaris muncul kembali dalam konsep RUU KUHAP yang hingga saat ini blm ditetapkan sebagai UU. Jika dikaji lebih jauh maka kiranya dapat dipahami bahwa masuknya ide hakim komisaris ke dalam konsep KUHAP merupakan adopsi dari sistem Eropa Kontinental, antara lain Belanda. Hakim Komisaris muncul dalam sistem hukum Belanda bertujuan mengawasi jalannya proses hukum acara pidana.

Setelah memahami fungsi dan peran hakim komisaris, kiranya dapat disandingkan dengan keberadaan lembaga praperadilan yang masih dianut dalam KUHAP yang berlaku saat ini. Keberadaan lembaga prapedilan juga bertujuan untuk menegakkan hak asasi manusia, berkaitan dengan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, yang dilakukan oleh aparat penegak hukum (dalam hal ini penyidik). Namun demikian keberadaan praperadilan mempunyai beberapa perbedaan mendasar dengan hakim komisaris. Sekalipun tujuan keberadaan keduanya memang untuk penegakan/perlindungan HAM, namun mempunyai perbedaan mendasar.

Pertama, dilihat dari konsep dasarnya, keduanya memiliki konsep yang berbeda. Hakim komisaris sebagai lembaga yudikatif (kehakiman) mempunyai hak mengendalikan terhadap jalannya pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan baik oleh penyidik maupun penuntut umum berkaitan dengan wewenangnya. Sedangkan lembaga praperadilan bersumber pada habeas corpus yang memberikan dasar kepada seseorang yg dilanggar haknya untuk melawan terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan terhadap dirinya. Artinya bahwa dalam praperadilan hak asasi manusia diberikan sebagai seorang manusia yang merdeka dan dapat melakukan perlawanan apabila dirasa upaya paksa yang dilakukan thd dirinya tidak sah.

Kedua, sistem pemeriksaan oleh hakim komisaris pada dasarnya bersifat tertutup (internal) dan dilaksanakan oleh hakim terhadap penyidik, penuntut umum, saksi2 atau terdakwa. Hal ini akan menghambat transaparansi kepada masyarakat yang berperan sebagai pengawas bagi jalannya persidangan. Artinya akan rawan dengan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), sedangkan dalam sidang praperadilan sebagaimana kita tahu bersama bahwa dilaksanakan secara terbuka untuk umum dan dapat disaksikan oleh publik (masyarakat).

Sejalan dengan semuanya, maka keberadaan hakim komisaris,masih mempunyai kelemahan. Untuk itu perlu dikaji kembali keberadaannya, karena dapat dipahami pengadopsian hakim komisaris ini, merupakan hasil studi banding beberapa pakar dan praktisi hukum (pidana) Indonesia thd beberapa negara yg menganut Sistem Hukum Eropa Kontinental, misalnya Belanda,. Namun demikian bukan berarti dapat diterapkan secara bulat di dalam hukum acara pidana Indonesia, karena mempunyai bbrapa kelemahan spt yg sudah dipaparkan. Oleh karena itu,memerlukan penyesuaian dalam tahap penyempurnaan nantinya. Dibutuhkan banyak diskusi dan pengkajian kembali, agar tahapan konsep RUU KUHAP khususnya keberadaan hakim komisaris lebih matang untuk dijadikan UU nantinya.



1 komentar:

  1. Permasalahan penerapan hakim komisaris utamanya pada kesiapan sdm dan kondisi geografi, selain kedua hal tsb hakim komisaris merupakan perubahan yg sgt baik dlm proses penegakan hkm dimana selama ini upaya paksa mutlak kewenangan subjektif aparat yang hampir selalu dimenangkan ketika dijadikan alasan dlm praperadilan, byk contoh orang yg diduga melakukan kejahatan tdk layak ditangkap, ditahan, digeledah apalagi smpai dimajukan ke meja hijau, mereka tdk punya daya melawan apalg untuk mengajukan praperadilan

    BalasHapus