Selasa, 08 Maret 2011

Ketidakadilan Hukum Kasus BLBI


Oleh : ROMLI ATMASASMITA
(Guru Besar Emeritus Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran, Bandung)

Kasus BLBI telah berjalan lebih kurang selama 10 tahun sejak krisis moneter tahun 1997/1998. Langkah penegakan hukum yang dilakukan mengakibatkan pengambil kebijakan pengucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dijatuhi hukuman. Sementara dua direksi lain di-SP3-kan (surat perintah penghentian penyidikan) Kejaksaan Agung (Kejagung) dan sejumlah penerima BLBI dihukum.


Pemerintah menetapkan kebijakan hukum dan menggunakan UU No 25/2000 tentang Propenas dan payung politik Tap MPR untuk penyelesaian di luar pengadilan, diikuti Inpres No 8/2002 yang mengesahkan MSAA, MRNIA, APU, dan SKL.

Konsekuensi dari Inpres itu adalah dihentikannya penyidikan kasus BLBI oleh Kejagung. Namun, penghentian itu tidak merujuk pada ketentuan KUHAP atau UU Kejaksaan.

Surat keterangan lunas (SKL) terhadap obligor yang diharapkan kooperatif (melunasi kewajibannya) tidak memberi hasil maksimal bagi kepentingan negara. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 6 Mei 2008, membatalkan SP-3 Kejagung yang telah dikeluarkan atas nama kasus SYN (BDNI) bertanggal 14 Juni tahun 2004, merupakan bukti bahwa payung hukum itu tidak memenuhi asas kepastian hukum dan belum berpihak pada kepentingan masyarakat luas. Sementara pengembalian atas kerugian negara tidak mencapai 10 persen dari total dana BLBI yang telah disalurkan.

Menimbulkan ketidakadilan

Kepastian hukum dan keadilan dalam kebijakan hukum yang diambil pemerintah telah menimbulkan ketidakadilan bagi sebagian tersangka/terdakwa serta masyarakat luas, bahkan tampak diskriminatif. Contoh nyata, mengapa obligor SYN dalam kasus BDNI masih diberi kebebasan untuk ”buron” ke luar negeri dengan alasan kesehatan dan mendapat izin Jaksa Agung, sedangkan tersangka/terdakwa lain tidak diberi perlakuan sama dan tetap dikenakan penahanan serta dituntut secara pidana.

Tertangkapnya UTG dengan uang sekitar Rp 6 miliar dari Art tiga hari setelah diumumkan bahwa Kejagung tidak menemukan unsur melawan hukum dalam kasus BDNI (SYN); dua kali keterangan Glenn Yusuf (mantan Kepala BPPN) di hadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengakui adanya suap dalam kasus BLBI; serta rekaman percakapan UTG dan Art, KyR dan Art, UUS dan Art yang dibuka dalam persidangan terdakwa Art ditambah rencana penangkapan Art oleh Kejagung dengan sepengetahuan Jaksa Agung membuktikan bahwa penegakan hukum kasus BLBI telah menciptakan miscarriage of justice.

Ini merupakan skandal besar kedua dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia setelah kasus dana BI. Rencana penangkapan Art oleh Kejagung juga melanggar Pasal 50 UU KPK (2002) yang tegas melarang kejaksaan atau kepolisian melakukan langkah hukum saat KPK sudah menangani kasus korupsi itu.

Inisiatif Kejagung memeriksa keterlibatan petinggi Kejagung dalam kasus UTG tidak dapat menghapus citra negatif masyarakat. Maka, KPK seharusnya dapat mengambil alih kasus BLBI dari Kejagung dan memeriksa petinggi Kejagung tersebut.

Analisis kasus BLBI
Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia telah menganalisis kasus BLBI. Kesimpulannya, pertama, kasus BLBI sarat muatan korupsi. Kedua, KPK dapat mengambil alih kasus BLBI dari Kejagung.

Kasus BLBI, terutama pasca-Inpres No 8/2002, merupakan tindak pidana korupsi karena unsur melawan hukum, memperkaya diri atau orang lain atau korporasi, dan kerugian negara telah dipenuhi. Penyelesaian di luar pengadilan juga tidak membuahkan hasil signifikan bagi kepentingan negara. Selain itu, tidak ada iktikad baik dari penerima BLBI, antara lain nilai jaminan jauh lebih rendah dari nilai kewajiban yang seharusnya diselesaikan kepada negara dan tidak kooperatif terhadap pemanggilan Kejagung.

KPK dapat mengambil alih dalam rangka supervisi (Pasal 9 juncto Pasal 8) dan merujuk Pasal 68 UU No 30/2002 tentang KPK. Tidak ada alasan bahwa KPK tidak dapat mengambil alih kasus BLBI karena hukum acara pidana Indonesia (Pasal 284 Ayat 1 KUHAP) tegas tidak mengakui asas nonretroaktif sepanjang terkait dengan kewenangan menyidik dan menuntut perkara sebelum KUHAP terbentuk. Asas itu diakui dalam proses kriminalisasi suatu perbuatan menjadi tindak pidana vide Pasal 1 Ayat (1) KUHP.

Wewenang KPK mengambil alih perkara korupsi yang belum selesai penanganannya tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan Perubahannya karena Pasal 28 I UUD 1945 dan Perubahannya tidak melarang wewenang retroaktif KPK. Jika ada pendapat KPK tidak dapat mengambil alih kasus BLBI, jelas mereka tidak memahami sejarah hukum pidana Indonesia sampai KUHAP diundangkan tahun 1981. Jika asas nonretroaktif diterapkan pada masalah wewenang, akan terjadi stagnasi pemerintahan dan kinerja penegakan hukum dari satu periode ke periode lain.

sumber : www.nasional.kompas.com

0 komentar:

Posting Komentar