Sabtu, 05 Maret 2016

DIVERSI BERBASIS KEADILAN RESTORATIF DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

Menempatkan anak dalam Sistem Peradilan Pidana berdampak buruk bagi masa depan Anak.
-Foto:www.davisvanguard.org

Oleh : Beniharmoni Harefa

Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Indonesia secara tegas mengatur perihal diversi berbasis keadilan restoratif. Diversi dan keadilan restoratif merupakan hal paling mendasar yang membedakan UU No 11 Tahun 2012 dengan UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.




Maka untuk mensosialisasikan perubahan itu, pada Selasa 21 Mei 2013, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Nias, menyelenggarakan Sosialisasi Restorative Justice (Keadilan Restoratif). 






Sosialisasi tersebut menghadirkan narasumber Dr. Marlina, S.H.,M.Hum, dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang juga sebagai ahli sistem peradilan pidana anak.





Tulisan berikut, merupakan materi serta hasil diskusi dari sosialisasi tersebut. Penulis mengelaborasi dari makalah Dr Marlina dan dari diskusi yang berkembang pada pertemuan dimaksud. Tulisan mengulas konsep dan tujuan diversi, serta kaitan diversi dengan keadilan restoratif.




Konsep Diversi

Konsep diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana, melalui sistem peradilan pidana, lebih banyak menimbulkan bahaya dan dampak negatif daripada manfaat kebaikan. Alasan mendasar yaitu pengadilan akan memberikan stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya seperti anak dianggap jahat, akibatnya anak bukan lebih baik tetapi sebaliknya. Konsep diversi berupaya untuk menghindarkan anak ke luar sistem peradilan pidana (Randall G. Shelden, 1997:1)

Menurut Jack E. Bynum dalam bukunya Delinquency a sociological approach, memberikan pengertian diversi yaitu diversion is an attermpt to divert or channel out, youthful offenders from the juvenile justice system. Diversi merupakan sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan (Jack E. Bynum, 2002:430).

Diversi dapat dimaknai sebagai upaya menjauhkan suatu kasus dengan kriteria tertentu, dari proses peradilan pidana formal menuju kearah dukungan komunitas untuk menghindari dampak negatif yang diakibatkan oleh proses peradilan pidana (Tim YPHA).

Dalam Black’s Law Dictionary, divertion didefenisikan sebagai a turning a side or altering the natural course or route of a thing. The term is chiefly applied to the an authorized change or alteration of the water course to the prejudice of a lower riparian, or the authorized use of funds (Henry Campbell Black, 1990:477).

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana (Pasal 1 ayat 7 UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak)

Tujuan Diversi


Menurut Levine tujuan diversi yakni untuk mengeluarkan anak dari proses peradilan orang dewasa, agar anak tidak lagi diperlakukan sama dengan orang dewasa (Edward K Morris, 1987:252).

Diversi bertujuan untuk memutus lingkaran setan stigmatisasi, kekerasan, penghinaan, dan mengurai ikatan sosial antar pelaku. Diversi juga akan menghindari kemungkinan muncul “sekolah kejahatan”, mengurai resiko residivisme, menghindari biaya hukum yang semakin mahal, dan membantu mengintegrasikan pelaku (Tim YPHA). Diversi merupakan upaya konstruktif untuk membangun kembali relasi sosial yang rusak akibat tindak pidana, dibandingkan menghadapkan dengan proses peradilan pidana formal, yang hanya akan menimbulkan pengucilan terhadap pelaku dari konteks kehidupan sosialnya.

Selain hal di atas, tujuan dilakukannya diversi juga yakni untuk mengeluarkan anak dari proses peradilan orang dewasa agar anak tidak lagi diperlakukan sama dengan orang dewasa. Diversi sebagai upaya untuk melakukan tindakan persuasif atau tindakan non penal, memberikan kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki kesalahannya dan bertanggungjawab, mengakui kesalahan serta menghindarkan anak dari penangkapan yang menggunakan tindakan kekerasan dan pemaksaan.

Diversi bertujuan (Pasal 6 UU No 11 Tahun 2012) :
a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak;
b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;
c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;
d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;
e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Syarat diversi (Pasal 7 ayat 2 UU No 11 Tahun 2012)
Diversi sebagaimana dimaksud dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan :
a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Diversi Berbasis Keadilan Restoratif

Konsep diversi ini sangat relevan dengan semangat keadilan restoratif (restorative justice). Bahkan ada yang secara tegas menyatakan, bahwa salah satu bentuk proses restorative adalah diversi (Eva Achjani Zulfa, 2011)

Keadilan restoratif menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Hal ini relevan dengan konsep diversi (pengalihan), yang berusaha mengalihkan proses penyelesaian perkara pidana anak ke luar peradilan formal, sebagai upaya pemulihan bagi anak terhadap korban dan masyarakat dan bukan pembalasan.

Menurut ahli kriminologi kebangsaan Inggris Tony F. Marshall, menyatakan bahwa restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to resolver collectively how to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future (Allison Moris and Gabrielle Maxwell, 2001:5). Keadilan restoratif dapat diartikan suatu proses dimana semua pihak yang berkepentingan di dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama guna menyelesaikan akibat dari pelanggaran yang terjadi demi kepentingan masa depan.

Berkaitan dengan semua pihak yang berkepentingan, maka ada 3 (tiga) komponen besar yang harus dipertemukan dalam proses penyelesaian perkara secara restorative justice. Ketiganya yaitu korban (victim), pelaku (offender) dan lingkungan/masyarakat (community). Howard Zehr dalam bukunya Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice, menambahkan bahwa penyelesaian perkara secara restorative justice berbeda dengan proses peradilan konvensional (Daniel W. Van Ness and Karen Heerderks Strong, 2010:22).

Inti dalam penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif, yakni proses penyelesaian perkara pidana dengan melibatkan pelaku, korban dan masyarakat. Pelaku mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya, dengan memperbaiki kerugian dan berdamai dengan korban serta masyarakat. Keadilan restoratif berupaya memulihkan hubungan yang telah rusak, antara pelaku dengan korban dan masyarakat.

Model keadilan restoratif sering dihadapmukakan dengan model keadilan lain dalam hukum pidana sekarang, yaitu retributif justice model (Sholehuddin, 2007:64). Secara umum Muladi membedakan antara restorative justice model dengan retributive justice model yang dapat dilihat dalam tabel, sebagai berikut (Muladi, 1995:127-129) :



Restorative Justice Model
Retributive Justice Model
1.     Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai konflik;

2.     Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan;


3.     Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;


4.     Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama;

5.     Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil;

6.     Sasaran perbaikan pada perbaikan kerugian sosial;

7.     Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;


8.     Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun dalam penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggungjawab;

9.     Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;

10. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis;


11. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.

1.     Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran terhadap negara, hakekat konflik dari kejahatan dikaburkan dan ditekan;

2.     Perhatian diarahkan pada penentuan kesalahan pada masa lalu;



3.     Hubungan para pihak bersifat perlawanan, melalui proses yang teratur dan bersifat normatif;

4.     Penerapan penderitaan untuk penjeraan dan pencegehan;


5.     Keadilan dirumuskan dengan kesengajaan dan dengan proses;


6.     Kerugian sosial yang satu diganti oleh yang lain;

7.     Masyarakat yang berada pada garis samping dan ditampilkan secara abstrak oleh negara;

8.     Aksi diarahkan dari negara pada pelaku tindak pidana, korban harus pasif;




9.     Pertanggungjawaban si pelaku tindak pidana dirumuskan dalam rangka pemidanaan;



10. Tindak pidana dirumuskan dalam terminologi hukum yang bersifat teoritis dan murni tanpa dimensi moral, sosial dan ekonomis;

11. Stigma kejahatan tak dapat dihilangkan.




Dari berbagai ulasan di atas, konsep dan tujuan diversi sejalan dengan keadilan restoratif yang menekankan pemulihan. Memperbaiki kembali kerusakan yang ditimbulkan akibat terjadinya tindak pidana. Hal tersebut memberikan perlindungan bagi anak, yang ditempatkan dalam sistem peradilan pidana.

* * *
Semoga Bermanfaat.

Referensi :
Allison Moris and Gabrielle Maxwell, 2001, Restorative Justice For Juvenile : Conferencing, Mediation and Circles, Hart Publishing, Oxford-Portland, Oregon.
Daniel W. Van Ness and Karen Heerderks Strong, 2010, Restoring Justice : An Introduction to Restorative Justice, Fourth Edition, Anderson Publishing, LexisNexis.
Eva Achjani Zulfa, 2011, Reparasi dan Kompensasi Korban Dalam Restorative Justice, Kerjasama Antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan Departemen Kriminologi FISIP UI, Jakarta.
Edward K. Morris and Curtis J. Braukmann, 1987, Behavioral Approach to Crime and Delinquency; A Handbook of Application, Research and Concepts, New York, Plenum Press.
Henry Campbell  Black, 1990, Black’s Law Dictionary (Sixth Edition), St. Paul Minn West Publishing Co.
Jack E. Bynum, 2002, Juvenile Delinquency a Sociological Approach, Allyn and Bacon a Peason Education Company, William E. Thompsson, Boston.
Marlina, Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, makalah disampaikan pada workshop tentang Restorative Justice dalam Perspektif UU Sistem Peradilan Anak dan Kearifan Lokal Masyarakat Nias, Hotel Nasional, Gunungsitoli, 21 Mei 2013.
Muladi, 1995, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Randall G. Shelden, 1997, Detention Diversion Advocary : an Evaluation, Washington DC U.S Departement of Justice.
Romli Atmasasmita, 1997, Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm. 201.
Sholehuddin, 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana : Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Tim Yayasan Pemantau Hak Anak (Children’s Human Rights Foundation), Diversi Penanganan Kasus Anakhttp://www.ypha.or.id/web/?tag=diversi-penangangan-kasus-anak, diakses pada tanggal 03 Januari 2014 pukul 10.00 WIB.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

0 komentar:

Posting Komentar