Minggu, 06 Maret 2016

SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

Sistem peradilan pidana anak. -Foto:www.theatlantic.com

Oleh : Beniharmoni Harefa


Sistem peradilan pidana anak dapat dipahami, dengan terlebih dahulu memahami sistem peradilan pidana.

Sistem Peradilan Pidana


Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana substansial, hukum pidana formal maupun hukum pelaksanaan pidana (Muladi, 1995:22).

Sistem peradilan pidana, pada hakikatnya merupakan suatu proses penegakan hukum pidana. Oleh karena itu, berhubungan erat sekali dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum pidana substantif maupun hukum acara pidana, karena perundang-undangan hukum pidana itu pada dasarnya merupakan penegakan hukum pidana “in abstracto” yang akan diwujudkan dalam penegakan hukum “in concreto” (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010:197).


Menurut Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi yang dimaksud dapat diartikan usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat (Mardjono Reksodiputro, 2007:84).

Menurut Romli Atmasasmita, pengertian sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana (Romli Atmasasmita,1996:14). Selanjutnya Romli membedakan antara pengertian criminal justice process dan criminal justice system. Pengertian criminal justice process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya.

Mardjono Reksodiputro menambahkan, di dalam sistem peradilan pidana terdapat 4 (empat) komponen-komponen yang berkerjasama, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Keempat komponen ini bekerja secara terpadu (integrated) untuk mencapai tujuan sistem. Sistem peradilan pidana terpadu, diimplementasikan dalam 4 (empat) sub sistem kekuasaan, yakni kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili/ menjatuhkan pidana, dan kekuasaan eksekusi/ pelaksanaan pidana (Barda Nawawi Arief, 2007:9).

Sistem peradilan pidana ini tidak hanya mencakup satu institusi tetapi berkaitan erat dengan beberapa institusi negara, yang menurut Fenney pekerjaan aparat penegak hukum yang satu akan memberikan dampak dan beban kerja kepada aparat penegak hukum yang lain (Eddy O.S. Hiariej, 2013:6-7).

Ada dua model dalam sistem peradilan pidana yang acap kali kita dengar. Model sistem peradilan pidana tersebut diperkenalkan oleh Herbert L. Packer dalam bukunya The Limits of the Criminal Sanction yang terbit di tahun 1968. Model sistem peradilan pidana menurut Packer, yaitu crime control model dan due process model (Herbert L. Packer, 1968:164-165).

Crime control model memiliki karakteristik efesiensi, mengutamakan kecepatan dan presumption of guilt, sehingga tingkah laku kriminal harus segara ditindak dan si tersangka dibiarkan sampai ia sendiri yang melakukan perlawanan.

Sedangkan, due process model memiliki karakteristik menolak efesiensi, mengutamakan kualitas dan presumption of innocent sehingga peranan penasehat hukum amat penting sekali dengan tujuan jangan sampai menghukum orang yang tidak bersalah (Ibid). Kedua model tersebut ada nilai-nilai yang bersaing tetapi tidak berlawanan.

John Griffithst seorang Guru Besar di Yale School University di California, mengkritik dua model yang dikemukakan Packer. Menurut Griffithst model yang disampaikan Packer berada dalam pemikiran model yang disebut System Adversary atau Battle Model (Rusli Muhammad, 2011:45-47). Battle Model (model perlawanan) menggambarkan peperangan antara dua pihak yang saling berlawanan yakni pelaku tindak pidana dan negara.

Griffithst selanjutnya mempelopori Family Model yang bermaksud membongkar atau mengganti Crime Control Model dan Due Process Model yang mengandung nilai perlawanan atau perang, menjadi sistem nilai berupa kepentingan yang saling mendukung dan menguntungkan menuju kesatuan harmoni dan pernyataan kasih sayang. Di dalam Familiy Model fungsi pemidanaan sebagai pengendali agar mempunyai kapasitas untuk memperbaiki diri, dan tetap berada dalam kerangka kasih sayang keluarga.

Apabila dilihat dari tujuannya, sistem peradilan pidana mempunyai tujuan-tujuan yang bersifat welfare, yaitu untuk pengendalian kejahatan dan merehabilitasi pelaku kejahatan (Marcus Priyo Gunarto, 2009:95).

Maka dapat disimpulkan, sistem peradilan pidana adalah proses yang dilakukan oleh negara terhadap orang-orang yang melanggar hukum pidana. Proses itu dimulai dari penyelidikan/penyidikan oleh kepolisian, penuntutan oleh kejaksaan, sidang di pengadilan dan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan.

Sistem Peradilan Pidana Anak

Sistem peradilan pidana anak terkait dengan beberapa institusi yang merupakan satu kesatuan yaitu pertama, penyelidik/ penyidik anak. Kedua, penuntut umum anak, ketiga, hakim anak dan keempat, yakni petugas lembaga pemasyarakatan anak. Kesemua institusi penegak hukum ini, bekerjasama dengan kekuasaan masing-masing.

Kekuasaan dari masing-masing institusi tersebut yakni kekuasaan penyelidikan/ penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili/ menjatuhkan pidana, dan kekuasaan eksekusi/ pelaksanaan pidana. Aktivitas dalam penegakan hukum pidana anak ini lebih menekankan pada kepentingan perlindungan anak dan demi kesejahteraan anak.

Sistem peradilan anak meliputi segala aktifitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut kepentingan anak. Yaitu segala aktivitas yang dilakukan oleh polisi, jaksa, hakim dan pejabat lain, harus didasarkan pada suatu prinsip ialah demi kesejahteaan anak dan kepentingan anak (Sudarto, 2010:129,140).

Sistem peradilan pidana anak berbeda dengan sistem peradilan pidana bagi orang dewasa dalam berbagai segi. Peradilan pidana anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut kepentingan anak. Menekankan atau memusatkan pada kepentingan anak harus merupakan pusat perhatian dari peradilan pidana anak (Maidin Gultom, 2008:6).

Salah satu ciri yang melekat pada sistem peradilan pidana anak adalah para pemangku hukum dapat mengakhiri proses peradilan pada setiap anak, sejak keadaan tertentu diketahui oleh yang berwenang menghentikannya (Abintoro Prakoso, 201).

Sistem peradilan pidana anak menurut Yahya Harahap adalah sistem pengendalian kenakalan anak (juvenile delinquency) yang terdiri dari lembaga-lembaga yang menangani penyelidikan anak, penyidikan anak, penuntutan anak, pengadilan anak dan pemasyarakatan anak (Yahya Harahap, 1993:5).

Sistem peradilan pidana anak juga, dapat diartikan sebagai segala unsur sistem peradilan pidana, yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan sistem peradilan. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga, pengadilan anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Keempat atau yang terakhir ialah institusi penghukuman (Purnianti dkk, 2003:5).

Dari berbagai uraian di atas, maka sistem peradilan pidana anak terkait dengan beberapa institusi yang merupakan satu kesatuan yaitu pertama, penyelidik/ penyidik anak, kedua, penuntut umum anak, ketiga, hakim anak dan keempat, yakni petugas lembaga pemasyarakatan anak. Kesemua institusi penegak hukum ini, bekerjasama dengan kekuasaan masing-masing.

Kekuasaan dari masing-masing institusi tersebut yakni kekuasaan penyelidikan/ penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili/ menjatuhkan pidana, dan kekuasaan eksekusi/ pelaksanaan pidana. Aktivitas dalam penegakan hukum pidana anak ini lebih menekankan pada kepentingan perlindungan anak dan demi kesejahteraan anak.

* * *

Semoga Bermanfaat 


Daftar Bacaan :


Abintoro Prakoso, Diskresi Pada Tahap Penyidikan dalam Mewujudkan Perlindungan Hukum bagi Anak Nakal, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Minat Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang.
Barda Nawawi Arief, 2007, Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System), Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Eddy O.S. Hiariej, Pengembalian Aset Kejahatan, Jurnal Opinio Juris, Vol. 13. Mei-Agustus 2013.
Herbert L. Packer, 1968, The Limits of the Criminal Sanction, Oxford University Press.
Marcus Priyo Gunarto, Sikap Memidana Yang Berorientasi Pada Tujuan Pemidanaan, Mimbar Hukum Volume 21, Nomor 1, Februari 2009.
Maidin Gultom, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung.
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung.
Mardjono Reksodiputro, 2007, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta.
Purnianti, Mamik Sri Supatmi dan Ni Made Martini Tinduk, 2003, Analisa Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System), UNICEF, Indonesia.
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bina Cipta, Bandung.
Rusli Muhammad, 2011, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, UII Press, Jogjakarta.
Sudarto, 2010, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Yahya Harahap, 1993, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini, Jakarta.

1 komentar:

  1. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
    BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus